Istilah ta’aruf di kalangan aktivis dakwah saat ini lebih
berkonotasi kepada ta’aruf (saling mengenal) pra khitbah yang akan dilanjutkan
ke jenjang pernikahan. Kata ta’aruf sendiri pada asalnya lebih umum baik
sejenis atau lawan jenis. Istilah ini muncul karena sebagian besar aktivis
dakwah yang hendak menikah tidak saling mengenal satu sama lain sehingga perlu
proses saling mengenal masing-masing calonnya. Sebenarnya ta’aruf muncul
sebagai alternatif dari fenomena pacaran yang sudah mendarah daging di masyarakat.
Jadi, ta’aruf adalah ta’aruf dan pacaran adalah pacaran,
artinya dua hal yang berbeda. Pacaran tidak bisa disebut ta’aruf dan ta’aruf
tidak boleh berubah jadi pacaran. Karena itu, yang menjadi patokan dan tolok
ukur adalah syariat itu sendiri, yakni bagaimana syariat Islam ini mengatur
pergaulan lawan jenis non mahram.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Bagi setiap aktivis dakwah, yang sudah memilih dakwah
sebagai jalan hidupnya, tentu harus lebih menjaga kepribadiannya. Sebelum ia
mengajak orang lain untuk menghiasi akhlak dengan nilai-nilai Islam, terlebih
dahulu ia harus merealisasikannya. Termasuk bagaimana sikap yang harus dimiliki
seorang aktivis dakwah ketika hendak menikah.
Islam memberikan solusi mengelola perasaan cinta dan
kasih sayang dalam ikatan suci, yaitu pernikahan. Dalam Islam tidak ada konsep
pacaran, Islam memberikan panduan yang sangat jelas demi kebaikan umatnya.
Proses ta’aruf merupakan proses awal menuju proses selanjutnya, yaitu khitbah
dan akhirnya sebuah pernikahan. Memang tidak semua sukses sampai tahap
tersebut. Karena semua kembali kepada Yang Maha Berkendak.
Tidak ada aturan baku atau ketetapan khusus mengenai tata
cara ta’aruf. Namun perlu bahkan harus tetap memperhatikan adab-adab dalam
bergaul antara pria dan wanita. Tidak jarang para aktivis dakwah terjebak dalam
proses ta’aruf yang tidak sesuai syari’at Islam. Misalnya, komunikasi yang
muatannya melanggar aturan agama, berlebihan, berisi kata-kata yang tidak
pantas. Yang lebih sering melalui media elektronik seperti saling berkirim sms, chatting, bertelepon
atau bahkan bertemu tanpa ditemani mahram. Betapa banyak mereka yang
tergelincir disebabkan fitnah komunikasi. Tidak pandang bulu, baik orang awam
atau para penuntut ilmu agama. Jika berkomunikasi secara wajar tentu tidak
dilarang.
Islam memerintahkan untuk selalu menjaga hati. Manusia
hatinya sangat lemah dan setan selalu masuk melalui titik terlemah manusia.
Sebagian berpendapat saling berkirim sms, hukumnya mubah selama hal tersebut
tidak mengajak kepada kemungkaran atau kefasikan, hanya membicarakan yang
seperlunya untuk mengetahui atau mengenali calon pasangan. Akan tetapi
dikhawatirkan seseorang tidak bisa mengendalikan hatinya, sehingga membuka
pintu-pintu keakraban dan keintiman untuk saling mengungkapkan kata-kata yang
belum selayaknya terucapkan, yang sangat sederhana seperti “Kamu cantik banget”
atau “Selamat pagi sayang” atau “Aku cinta kamu” sama halnya dengan orang yang
berpacaran.
Berikut tata cara berta’aruf yang sesuai syari’at:
Satu, Membersihkan niat karena Allah
Bersihkan niat, dan ikhlaskan menikah adalah ibadah
semata-mata untuk mencari keridhaan Allah. Tidak mudah memang menerima calon
pasangan kita apa adanya, apabila yang datang tidak sesuai dengan “kriteria”
yang kita harapkan. Di sinilah sandungan/ujian pertama keikhlasan kita.
Dua, Menjaga kesucian acara ta’aruf
Agar kesucian acara ta’aruf terjaga maka harus jaga
rambu-rambu syariat (tidak boleh berkhalwat, menjaga pandangan, menjaga aurat
serta menjaga rahasia ta’aruf (sebaiknya orang lain [kecuali perantara] hanya
tahu rencana pernikahan dari undangan saja)
Tiga, Kejujuran kedua belah pihak dalam ta’aruf
Selama proses ta’aruf maka kedua belah pihak
dipersilahkan menanyakan apa saja yang dibutuhkan untuk mengarungi rumah tangga
nantinya contohnya mengenai keadaan keluarga, prinsip dan harapan hidup,
sesuatu yang disukai dan tidak disukai atau lainnya. Mengenai aib yang pernah
dilakukan pada masa lalu, ada pendapat untuk menutupinya. Hal ini karena kita
pun mempunyai kewajiban untuk menutupi aib sendiri.
Empat, Berkomunikasi yang baik
Selama proses ta’aruf, kedua belah pihak serius dan sopan
dalam berbicara serta menghindari membicarakan hal-hal yang tidak perlu.
Lima, Menerima atau menolak dengan cara yang ahsan
Jika selama ta’aruf ditemukan kecocokan maka akan
dilanjutkan ke jenjang selanjutnya, namun jika selama ta’aruf tidak ditemukan
kecocokan maka bisa menyudahi ta’aruf dengan cara yang baik dan menyatakan
alasan yang masuk akal. Segera sampaikan ketidakcocokan, jangan sampai membuat
seseorang menunggu lama, karena dikhawatirkan akan sangat kecewa karena telah
terlalu berharap.
Enam, Agar ta’aruf tidak melanggar agama, maka sebaiknya
diperlukan perantara. Mengapa?
Dengan adanya perantara maka akan membantu kita untuk mencari informasi
mengenai pasangan ta’aruf. Ta’aruf yang dilakukan tanpa perantara rentan dari
kebersihan hati, sebab jika ta’aruf dilakukan hanya berdua saja maka semua hal
bisa saja terjadi. Kata-kata yang tidak sepatutnya dikeluarkan atau diumbar
akan begitu mudah terlontarkan.
·
Dengan adanya perantara maka akan membantu mempertegas proses ta’aruf.
Seorang perantara akan membantu memberikan batas waktu kepada pasangan ta’aruf,
kapan deadline ta’aruf, kapan ta’aruf selanjutnya dilakukan, kapan pertemuan
dengan orang tua, kapan acara lamaran dan sebagainya. Semuanya akan menjadi
jelas dan tidak berlama-lama. Berbeda dengan ta’aruf yang jika dilakukan berdua
saja.
· Dengan adanya perantara akan mengurangi fitnah yang terjadi.
Perantara ta’aruf bisa murabbi atau guru agama atau siapa
saja yang sekiranya memang pantas dijadikan perantara, misalnya orangtua,
teman, saudara dan sebagainya. Asalkan mereka tahu dengan jelas siapa yang akan
diperantarai dan mengetahui bagaimana cara ta’aruf yang dibenarkan oleh agama.
Sebaiknya yang menjadi perantara adalah mereka yang telah menikah karena mereka
sudah mengetahui proses menuju pernikahan dan untuk menghindari fitnah yang
terjadi dengan salah satu calon ta’aruf.
Baik proses ta’aruf ataupun setelah khitbah tidak ada
pelegalan komunikasi yang berlebihan dengan calon tambatan hatinya. Karena
sebelum adanya ikatan pernikahan, semuanya belum halal.
Ta’aruf Ideal dan Lebih Dewasa
Sebenarnya, ta’aruf model di atas masih menyisakan
masalah jika ternyata salah satu dari pihak menolak melanjutkan ke tahap
khitbah. Pasalnya, persepsi masing-masing calon biasanya pasca ta’aruf dianggap
sudah 80 persen tinggal kata-kata “ya”. Jika ternyata salah satunya menolak,
tak semua orang bisa menerima kenyataan dengan legawa. Yang banyak justru
terjadi kekecewaan. Dan itu sebisa mungkin dihindari.
- See more at:
http://spiritislam.net/index.php/2013/01/11/agar-taaruf-pra-nikah-lebih-dewasa-dan-tak-menjurus-kepada-pacaran/#sthash.meS5PAjg.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar